Pagi yang dingin. Udara sejuk menusuk tulang, membuat badan malas bergerak. Kaki saya menyentuh lantai perlahan, mata masih tertutup, lalu menarik napas panjang. Ayo semangat, hari ini liputan penting, batin saya. Sekitar 30 menit saya bersiap diri, lalu bergegas ke atas motor.
Hari itu, 21 Desember 2024, saya pergi ke wilayah Kedang, tepatnya menuju Desa Hoelea II di Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata. Saya hendak mewawancarai perempuan yang seumur hidupnya tidak memakan nasi, tapi satu jenis bahan pangan bernama jali-jali atau dalam bahasa setempat disebut leye. Pangan lokal jali-jali atau jelai ini bernama Latin coix lacryma-jobi. Leye adalah tumbuhan jenis serealia yang menjadi sumber karbohidrat dan obat.
Perjalanan ke desa tersebut memakan waktu kurang lebih 45 menit dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Saya ditemani kekasih. Sesampainya di sana, saya berjumpa dengan Yohan Edangwala, seorang Local Champion dari Koalisi Pangan Baik yang sejak awal menjadi teman diskusi saya terkait isu itu. Yohan memang tinggal di desa tersebut.
Pertengahan Desember lalu, saya mendapatkan beasiswa peliputan isu lingkungan dan kearifan lokal dari Ekuatorial. Saya pun mengambil liputan tentang tradisi pelestarian pangan lokal yang dilakukan oleh para perempuan di Desa Hoelea II. Menurut beberapa referensi yang pernah saya baca, para perempuan itu tidak makan nasi atau jagung. Mereka hanya boleh mengonsumsi leye. Saya penasaran setengah mati.
Yohan mengajak saya menjumpai Kristina Lolon, perempuan tua berumur lebih dari 80 tahun. Ia tidak mengingat tahun kelahirannya dengan pasti. Kristina menyambut kami dengan ramah di rumahnya. Keriput terlihat jelas pada wajah dan tubuh si perempuan renta ini. Baju berwarna biru putih tampak longgar di badannya yang kurus. Rambut hitam terikat ke belakang, bola matanya coklat kebiruan. Ia berbicara menggunakan bahasa daerah sesekali. Anak perempuannya, Yohana Ina juga ikut bercerita. Yohan membantu menerjemahkan bahasa daerah dari Kristina ke saya, begitu pun sebaliknya.
Kristina merupakan istri dari anak laki laki sulung Suku Leuhoe Tubar, satu dari tiga suku di wilayah Hoelea. Sebagai istri dari anak laki laki sulung, ia wajib menjalankan tradisi leluhur yang disebut puting watar ka leye (pantang jagung, makan leye). Menurut cerita Yohana Ina, si anak, tradisi itu telah ibunya jalani lebih kurang 22 tahun. Artinya, selama 22 tahun itu Kristina tidak pernah mengonsumsi nasi dari padi atau jagung, melainkan nasi dari leye. Satu-satunya sumber karbohidrat yang boleh ia makan hanyalah leye.
“Baik. Enak,” kata Kristina sambil tersenyum.
Saya berfoto dengan Kristina Lolon, perempuan lanjut usia yang menjalankan tradisi puting watar ka leye di Desa Hoelea II. Ia telah menjalankan tradisi hanya makan leye selama 22 tahun.
Perempuan lain yang menjalankan tradisi itu ialah Margaretha Eta dari Suku Leuhoe Tubar. Jika Kristina telah 22 tahun mengonsumsi leye, lain hal dengan Margaretha. Ia baru satu bulan makan leye, karena melanjutkan tradisi dari Veronika Dai, perempuan pengonsumsi leye yang sudah meninggal dunia.
Saat menyambangi rumahnya, Margaretha mengenakan kemeja berwarna merah dan kain bermotif bunga. Si murah senyum ini menunjukkan nasi leye yang ia konsumsi selama satu bulan ini. Teksturnya lembek, warnanya putih kecoklatan. Saya mencoba nasi leye itu. Rasanya tawar di lidah.
“Ini tradisi, kami harus jalankan,” ucap Margaretha sambil tersenyum lebar.
Margaretha Eta, perempuan yang menikahi anak sulung dari Suku Leuhoe Tubar di Desa Hoelea II. Ia baru satu bulan mengonsumsi leye, menggantikan pengonsumsi leye yang sebelumnya telah meninggal.
Pengetahuan lokal memakan leye di wilayah Kedang ini datang dari legenda yang diceritakan turun-temurun. Saya mendapatkan kisah ini dari Kepala Suku Leuhoe Tubar, Fransiskus Peu Leuhoe. Ia berkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang anak bernama Au Beni yang setiap hari bekerja menyadap tuak. Di dekat pohon tuak, tumbuh sebatang pohon jagung yang sudah berbunga. Setiap hari, Au Beni membelai rambut buah jagung tersebut dan berujar dengan bahasa Kedang: Jika jagung itu perempuan, maka ia akan mengawini perempuan tersebut. Hingga suatu hari, Au Beni terkejut melihat jagung tersebut telah berubah wujud menjadi sesosok perempuan. Ia dan si perempuan jelmaan jagung itu kemudian menikah, lalu memiliki anak bernama Oreng Au.
Si anak Oreng Au mempunyai anak lagi bernama Beni Oreng, Au Oreng, dan Buya Oreng. Tiga orang anak inilah yang akhirnya menjadi leluhur suku Leuhoe yang membentuk tiga suku besar yakni Leuhoe Tubar, Leuhoe Take, dan Leuhoe Payong.
Setelah beberapa waktu, Au Beni dan keluarga pindah ke kampung yang baru. Tiba-tiba, ada kejadian alam yang menyebabkan kampung tersebut menjadi gelap gulita. Au Beni pun membuat busur dan anak panah dari batang leye. Busur dan anak panah itu digunakan untuk memanah awan tebal hitam yang menggantung di langit, penyebab kampung menjadi gelap gulita. Sebelum itu, mereka telah membuat perjanjian untuk hanya mengonsumsi leye sebagai makanan utama. Anak panah pun dilepaskan ke langit dan seketika awan gelap itu lenyap. Sejak saat itu, tiga suku itu mulai menjalankan kebiasaan mengonsumsi leye.
Sebelum kedatangan saya ke Desa Hoelea II, saya mengira semua perempuan yang menikahi anak sulung dalam tiga suku itu harus mengonsumsi leye. Namun, anggapan itu keliru. Hanya empat perempuan yang wajib mengonsumsi leye: Tiga perempuan mewakili masing-masing suku dan satu perempuan mewakili tiga suku besar itu. Jika ada perempuan pengonsumsi leye yang meninggal, tradisi diteruskan sesuai garis keturunan dalam suku tersebut. Tiga perempuan yang kini wajib menjalankan tradisi itu kini ialah Margaretha Eta dari suku Leuhoe Tubar, Jana Barang dari suku Leuhoe Take, serta Kristina Lolon yang mewakili tiga suku besar. Dari suku Leuhoe Payong, perempuan yang menjalankan tradisi itu bernama Hamida Waheng, tetapi dia telah meninggal dunia dan belum ada ritual yang dilakukan untuk perempuan yang menggantikannya.
Saat bertemu kepala suku, saya sempat bertanya, “Mengapa tradisi ini hanya dijalankan oleh perempuan? Mengapa tidak laki-laki saja?” Saya sempat berpikir bahwa tradisi ini terkesan diskriminatif terhadap perempuan.
Sang kepala suku menjelaskan, dahulu tradisi itu dijalankan semua kalangan baik laki-laki maupun perempuan. Namun, produksi leye saat itu sangat sedikit. Jika leye habis, maka tradisi itu tidak bisa dijalankan lagi. Aturan baru pun dibuat sekitar 50 tahun lalu: Hanya perempuan yang menikahi laki-laki sulung suku tersebut saja yang wajib memakan leye. Alasan saat itu: Dalam pembagian peran dulu, perempuan yang bertugas menyiapkan makanan di dalam keluarga atau rumah tangga.
Oh ya, sebelum wajib makan leye, ada ritual topun atau melumuri beberapa titik badan si perempuan menggunakan sirih dan pinang yang telah dikunyah oleh dukun. Setelah melewati ritual itu, perempuan itu menjadi penerus tradisi leye. Ada beberapa pantangan saat makan leye yakni tidak boleh dimakan dengan telur ayam, daging kambing, sayur kelor, serta daun jeruk yang dicampur dengan daging babi. Selain itu, perempuan yang makan leye juga harus berada dalam posisi duduk saat minum air dan menyisir rambut.
Dengan adanya tradisi ini, keluarga si perempuan pengonsumsi leye wajib menanam leye baik di halaman rumah atau kebun. Menariknya, pemerintah desa setempat menyadari bahwa itu bukan hanya tugas dari keluarga yang menjalankan tradisi. Pemerintah Desa Hoelea II pun ikut membagikan benih leye ke masyarakat, serta membentuk tiga kelompok tani yang fokus menanam leye dan mengolah leye menjadi produk lain.
Di akhir wawancara hari itu, Local Champion Koalisi Pangan Baik, Yohan Edangwala menekankan pentingnya memengaruhi masyarakat agar mulai menanam leye terlebih dahulu. Jika mereka sudah terbiasa untuk menanam, tentu saya leye bisa eksis di meja makan dan dinikmati oleh semua kalangan, tidak hanya para perempuan penerus tradisi leye.
“Intinya mereka tanam dulu,” kata Yohan.
Local Champion Koalisi Pangan Baik, Yohan Edangwala menjelaskan tentang leye yang ditanam di rumah-rumah warga.
Saya pulang ke Lewoleba dengan banyak cerita di kepala. Saya berharap leye tidak hanya dikonsumsi oleh para perempuan hebat ini. Dari beberapa informasi yang saya dapat, leye memiliki kandungan gizi yang baik untuk tubuh. Jika leye sangat bermanfaat bagi tubuh, mengapa kita semua, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, anak-anak dan orang dewasa, tidak sama-sama mengonsumsi leye?