Saya mulai membaca novel ini hari Sabtu, 28 Desember 2024, sekitar pukul 20.00 WITA. Saya langsung menghabiskan 86 halaman karena penasaran malam itu. Esoknya, saya hanya menyambung beberapa halaman, pun demikian dengan hari setelahnya. Saya baru menuntaskan isi cerita buku ini pada siang hari yang gerah; 31 Desember yang mendung, tapi tak hujan.
Sama seperti buku-buku bertema 1965 yang sudah saya baca, gelombang emosi selalu menghantui tubuh dan membuat leher tegang. Berulang kali saya meneguk air putih untuk menetralkan napas saya yang mulai terengah-engah. Hanya karena membaca sebuah buku.
1965, sebuah novel sejarah yang ditulis oleh Kopong Bunga Lamawuran, wartawan dan penulis di NTT. Isi buku ini berlatar kejadian di Pulau Adonara, Flores Timur, tepatnya kampung bernama Witihama.
Ambuga, nama panggilan si penulis novel, menceritakan kisah Kopong, tokoh utama novel ini. Kopong, anak petani yang cerdas bisa lulus sekolah dasar dan ingin belajar Bahasa Inggris, mencintai kekasihnya yang bernama Peni, bergabung ke Kumpulan, sebuah organisasi rakyat yang hendak mengentaskan kemiskinan di tanah mereka.
Delapan belas bab di awal novel ini berkisah tentang nasehat sang Ayah bernama Sira Demon tentang kehidupan, pergolakan batin Kopong untuk bersekolah, rasa cinta terhadap kekasihnya, serta keputusannya untuk masuk ke Kumpulan. Cerita tentang Kumpulan memang mendominasi novel ini.
Selanjutnya, memasuki Bab 19, konflik dimulai. Kumpulan melayangkan surat pernyataan mempertanyakan program pemerintah yang tidak bisa menghilangkan kelaparan. Lalu, ada tiga tuntutan atas protes itu. Lima bab selanjutnya mulai menceritakan detail kisah Kopong dan orang-orang yang ditahan, dieksekusi mati, hingga kehidupan Kopong saat ini. Orang-orang yang ditahan itu merupakan anggota Kumpulan dan nama-nama warga yang tertulis dalam buku anggota Kumpulan. Tidak semua nama dalam buku itu adalah anggota Kumpulan.
Penahanan dan pembunuhan massal pada Desember 1965 di Adonara sebagaimana digambarkan Ambuga dalam novel ini dikaitkan dengan peristiwa 30 September 1965 di Pulau Jawa. Kumpulan pun dianggap sebagai kelompok yang hendak menyebarkan paham komunis sehingga semua orang yang terlibat dengan Kumpulan (baik anggota maupun keluarga dari anggota) ditahan, disiksa, dan dieksekusi mati.
Air mata saya tertahan saat membaca isi halaman 305, saat Kopong dibawa ke pinggir Got Hitam dan mengenali tiga pria yang hendak dieksekusi, salah satunya ialah ayahnya sendiri. Namun, airmata saya jatuh dan saya pun menangis terisak—seperti hadir dalam peristiwa itu—ketika membaca sebuah kalimat paling menyayat hati (menurut saya) di halaman 306.
“Ah, Molan. Itu ayahmu!” tangisnya.
Teriakan itu ia sampaikan kepada Molan yang membunuh Sira Demon tepat di depan mata Kopong. Molan mengeksekusi Sira Demon menggunakan belida, pedang khas Lamaholot. Tentu saja Molan bukanlah orang lain. Ia sahabat si Kopong sejak kecil. Dalam novel ini, sempat tergambar bahwa kelaparan melanda kampung mereka, lalu Molan dua kali datang meminta makan di rumah Kopong. Padahal, makanan milik keluarga Kopong sangat terbatas. Namun, makanan tetap diberikan oleh Kewa, ibu Kopong kepada Molan. Sedekat itu hubungan mereka.
Menutup novel 322 halaman ini, Ambuga mempertanyakan hal sama dengan Kopong dulu: Mengapa kesalahan seorang ayah ditanggung oleh anak? Jika nenek moyang membunuh, mengapa anak cucu menanggung akibat? Pertanyaan ini berangkat dari beberapa hal. Anak dari seorang algojo mengatakan dua saudaranya meninggal, imbas dari pembunuhan yang dilakukan ayah mereka. Saudaranya meninggal tertusuk pedangnya sendiri, sedangkan saudarinya meninggal tenggelam dalam lubang berlumpur depan rumahnya. Kopong (saat ini) juga meyakini hal yang sama, karena Molan mati dengan cara memotong lehernya sendiri.
Jawaban atas pertanyaan Ambuga dan Kopong ini ada pada halaman 168, dijawab oleh Ama Raya yang bijaksana.
“Manusia menyimpan seluruh masa lalu dalam tubuhnya. Semua yang dilakukan nenek moyangmu, akan tersimpan dan terekam dalam tubuhmu. Ketika kamu lahir, ada bagian-bagian kecil dalam tubuhnya yang bertugas menyimpan kenangan-kenangan, kejadian-kejadian, perbuatan-perbuatan, niat dan harapan, dari ayah ibumu, dari nenek moyangmu. Bagian tubuhmu itu jugalah yang telah merekam setiap kejahatan yang dilakukan nenek moyangmu, ayah ibumu, dan dalam waktu-waktu tertentu, hal-hal itu akan muncul kembali dalam ingatanmu, mengingatkanmu, dan menghantuimu. Karena itu, kamu sama sekali tidak bisa terlepas dari kebaikan dan keburukan masa lalumu, masa lalu nenek moyangmu.”
Kopong hampir dieksekusi mati. Kepalanya telah digunduli—sebuah penanda bagi orang-orang yang akan dieksekusi mati. Namun sore itu, ia melihat seorang utusan datang dari Bali dan marah begitu mengetahui sekitar 700 manusia telah dibunuh di Flores Timur. Sejam kemudian, mereka dilepaskan. Ia lega akhirnya bebas. Tapi, Kopong bersedih karena sang ayah meninggal di depan matanya dan ia hidup untuk mengenang hal paling menyedihkan itu.
Peristiwa 1965 di Pulau Jawa itu tentu saja berdampak pada wilayah lain di NTT. Dari beberapa buku yang saya baca, peristiwa serupa (penahanan dan pembunuhan) juga terjadi di Kota Kupang, Pulau Sumba, Sabu Raijua, Alor, Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Sikka. Saya tidak akan membahas detailnya di sini. Namun, satu hal yang terus menjadi pertanyaan saya dari dulu: Mengapa kejadian September 1965 di Pulau Jawa yang berjarak sangat jauh dari NTT bisa mengakibatkan gelombang pembantaian massal yang tersistem di NTT?
Omong-omong, selamat membaca novel sejarah ini!